BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bahasa sangat penting dalam
komunikasi baik tertulis maupun tak tertulis. Sehingga penggunaannya harus
berdasarkan pada kebahasaan dan perbendaharaan kata yang kaya dan lengkap.
Begitu juga dengan bahasa Indonesia yang merupakan milik bangsa Indonesia
merupakan alat komunikasi yang efektif dan efisien dalam pemersatu bangsa
ini. Proses morfologis merupakan pembentukan kata dengan jalan
menghubungkan morfem yang satu dengan morfem lainnya, baik itu morfem
bebas dengan morfem bebas maupun morfem bebas dengan morfem terikat.
Salah satu jenis proses morfologis adalah afiksasi atau pembubuhan afiks.
Afiksasi adalah proses morfologis dengan cara memberikan imbuhan baik
berupa awalan, sisipan, atau akhiran pada morfem lain. Prefiks merupakan
imbuhan yang melekat di depan kata dasar (morfem bebas) yang umumnya
disebut dengan awalan. Macam-macam prefiks yaitu: meN-, di-, ber-, ter-,
per-, se-, pe-, ke-, para, pra, dan sebagainya. Prefiks-prefiks tersebut akan
memiliki fungsi dan makna yang jelas jika sudah melekat pada kata dasar.
menghubungkan morfem yang satu dengan morfem lainnya, baik itu morfem
bebas dengan morfem bebas maupun morfem bebas dengan morfem terikat.
Salah satu jenis proses morfologis adalah afiksasi atau pembubuhan afiks.
Afiksasi adalah proses morfologis dengan cara memberikan imbuhan baik
berupa awalan, sisipan, atau akhiran pada morfem lain. Prefiks merupakan
imbuhan yang melekat di depan kata dasar (morfem bebas) yang umumnya
disebut dengan awalan. Macam-macam prefiks yaitu: meN-, di-, ber-, ter-,
per-, se-, pe-, ke-, para, pra, dan sebagainya. Prefiks-prefiks tersebut akan
memiliki fungsi dan makna yang jelas jika sudah melekat pada kata dasar.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
itu Morfem?
2.
Apa
saja Klasifikasi Morfem dan Deretan Morfologik?
3.
Apa
saja Prinsip Pengenalan pada Morfem?
4.
Apa
itu Bentuk Dasar dan Bentuk Asal serta Hierarki Bahasa?
C.
Manfaat Penulisan
1.
Untuk
Mengetahui Pengertian Morfem
2.
Untuk
Mengetahui Klasifikasi Morfem dan Deretan Morfologik
3.
Untuk
Mengetahui Prinsip Pengenalan pada Morfem
4.
Untuk
Mengetahui Bentuk Dasar dan Bentuk Asal serta Hierarki Bahasa
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Morfem
Morfem merupakan suatu gramtika terkecil yang
memiliki makna dengan kata terkecil, berarti satuan itu tidak dapat dianalisis
menjadi lebih kecil lagi lagi tanpa merusak makna. Umpamanya bentuk membeli
dapat dianalisis menjadi dua bentuk terkecil yaitu (me dan (beli). Bentuk beli
merupakan morfem, yakni morfem afiks yang merupakan secara gramatika memiliki
sebuah makna dan bentuk dasar yang secara leksikal dianalisis menjadi lebih
kecil lagi menjadi be dan li.
B.
Klasifikasi
Morfem dan Deretan Morfologik
1.
Klasifikasi Morfem
Chaer (1994: 151) mengklasifikasikan
morfem sebagai berikut ini.
1.
Berdasarkan kebebasannya
Berdasarkan
kebebasannya dibedakan menjadi:
a. Morfem bebas
Morfem bebas
yaitu morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam penuturan.
Misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, bagus, adalah termasuk morfem
bebas.
b.
Morfem terikat
Morfem
terikat yaitu morfem yang tidak mempunyai potensi untuk berdiri sendiri dan
yang selalu terikat dengan morfem lain untuk membentuk ujaran. Misalnya, bentuk juang, henti,
gaul, dan semua bentuk afiks. Morfem terikat dalam tatabahasa Indonesia
dapat dibagi lagi atas empat macam berdasarkan tempat terikatnya pada sebuah
morfem dasar:
1) Prefiks (=
awalan) : per-, me-, ter-, di-, dan
lain-lain.
2)
Infiks (=
sisipan) : -el-, -er-, -em-.
3)
Sufiks (=
akhiran) : -an, -kan, -i.
4)
Konfiks
: gabungan dari dua
atau lebih dari ketiga macam morfem di atas yang bersama-sama
membentuk suatu kesatuan arti.
Morfem terikat dapat dibeda-bedakan lagi menurut fungsinya,
ada yang berfungsi untuk membentuk kata kerja, ada yang bertugas untuk membentu
kata benda, ada pula yang digunakan untuk membentuk kata sifat. Pembagian yang
kompleks adalah pembagian yang didasarkan atas arti yang didukungnya. Tetapi arti
yang didukungnya itu pun belum mutlak, masih merupakan suatu kemungkinan: arti
yang tepat harus selalu ditinjau dari suatu konteks. Berkenaan dengan morfem
terikat ini, dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan
yaitu :
1)
Bentuk-bentuk seperti juang,
henti, gaul dan baur juga termasuk morfem terikat. Bentuk-bentuk
tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam ujaran tanpa mengalami
proses morfologi terlebih dahulu, seperti afiksasi, reduplikasi, dan atau
komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut prakategorial.
2)
Sehubungan dengan istilah
prakategorial di atas, menurut konsep Verhaar (1978) bentuk-bentuk tersebut
baru merupakan “pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam ujaran.
Bentuk-bentuk tersebut dapat muncul tanpa bentuk lain dalam kalimat imperatif.
Menurut Verhaar, dalam kalimat imperatif, bentuk-bentuk tersebut harus
menggunakan prefiks dan inflektif zero (nol).
3)
Bentuk-bentuk seperti renta (yang
hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering
kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga
termasuk morfem terikat. Oleh karena itu, morfem-morfem bisa muncul dalam
pasangan tertentu termasuk morfem terikat dan juga morfem unik.
4)
Bentuk-bentuk yang termasuk
preposisi dan konjungsi, seperti ke, dan, pada, kalau, dan atau secara
morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk
terikat.
5)
Klitika merupakan morfem yang agak
sukar ditentukan statusnya; apakah terikat atau bebas. Klitika adalah
bentuk-bentuk singkat, yang biasanya hanya berupa satu suku kata, yang secara
fonologis tidak mendapat tekanan dan kemunculannya dalam ujaran selalu melekat
pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Umpamanya, klitika –lah
posisi dalam bentuk kalimat ibulah yang akan datang.
Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas
proklitika dan enklitika. Yang dimaksud dengan proklitika adalah klitika yang
berposisi di muka kata yang dilekati, seperti ku dan kau pada konstruksi
kubawa dan kauambil. Sedangkan enklitika adalah klitika yang
berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti -lah, -nya, dan -ku pada
konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku. Cara membedakan morfem
bebas dan morfem terikat adalah sebagai berikut : Mem-perbesar Per-besar, jika
besar dipotong lagi, maka be- dan -sar masing-masing tidak
mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per-, dan besar disebut
morfem.
Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan
morfem bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-,
dinamakan morfem terikat. Dengan batasan itu, maka sebuah morfem dapat
berupa kata (seperti besar di atas), tetapi sebuah kata dapat terdiri
atas satu morfem atau lebih. Contohnya memperbesar di atas adalah satu
kata yang terdiri atas tiga morfem, yakni dua morfem terikat mem- dan per-
serta satu morfem bebas besar. Sebaliknya, berikut besar itu
sendiri adalah satu morfem yang kebetulan juga satu kata. Berikut ini beberapa
contoh lain beserta keterangannya. Membawa
morfem bebas
: bawa
morfem
terikat : mem-
Mendapat morfem
bebas : dapat
morfem
terikat : men-
Pembuatan
morfem
bebas : buat
morfem terikat
: pem-an
2.
Berdasarkan
keutuhaannya
Berdasarkan
keutuhaannya morfem dibedakan menjadi:
a.
Morfem
utuh
Morfem
utuh yaitu morfem yang merupakan satu kesatuan yang utuh, satu di awal dan satu
di belakang. Pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh
yaitu {satu}, {meja}, {kursi}, {rumah},{henti}, {juang}, dan sebagainya.
b.
Morfem
terbagi
Morfem
terbagi yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi.
Misalnya, pada kata satuan (satu) merupakan morfem utuh dan (ke-/-an)
adalah morfem terbagi. Semua afiks dalam bahasa Indonesia termasuk morfem
terbagi. Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia, ada
catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1)
Semua afiks yang disebut konfiks
seperti {ke-/-an}, {ber-/-an}, {per-/-an}, dan {pe-/-an} termasuk morfem
terbagi. Namun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks, seperti pada bermunculan
‘banyak yang tiba-tiba muncul’, dan bersalaman ‘saling menyalami’, tetapi
bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan ‘mempunyai aturan’ dan berpakaian
‘mengenakan pakaian’. Untuk menentukan apakah bentuk {ber-/-an} konfiks atau
bukan konfiks, harus diperhatikan makna gramatikal yang disandangnya.
2)
Dalam bahasa Indonesia ada afiks
yang disebut infiks yang disisipkan ditengah morfem dasar. Misalnya, afiks
{-er-} pada kata kerelip, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks
{-em-} pada kata gemilang. Dengan demikian infiks tersebut telah
mengubah morfem terbagi {ke-lip}, morfem utuh {gembung} menjadi morfem terbagi
{g-embung}, dan mengubah morfem utuh {getar} menjadi morfem terbagi {g-etar}.
3.
Berdasarkan
unsur pembentuknya
Berdasarkan
unsur pembentuknya dibedakan menjadi:
a.
Morfem
segmental
Morfem
segmental yaitu morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem
{lari}, {kah}, {kali}, dan {ter}, (lihat), (lah) dan semua morfem yang berwujud
bunyi. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental.
b. Morfem
suprasegmental
Morfem suprasegmental yaitu morfem yang dibentuk oleh
unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya.
Contohnya, seperti dalam bahasa Cina, Burma, dan Tha. Contoh lain, dalam bahasa
Babah misalnya ada kata botar(tekanan pada suku pertama) artinya
“putih”. Di samping itu juga bentuk botar(tekanan pada suku kedua)
artinya “darah”. Di sini unsur kedua bentuk itu sama yaitu b,o,t,a,r sedangkan
unsur suprasegmentalnya adalah tekanan.
4.
Berdasarkan maknanya
Berdasarkan maknanya, morfem dibedakan menjadi:
a.
Morfem bermakna leksikal
Morfem bermakna leksikal yaitu morfem-morfem yang secara
inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dengan
morfem lain. Misalnya, morfem-morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan
sebagainya adalah morfem bermakna leksikal. Morfem-morfem seperti itu sudah
dapat digunakan secara bebas dan mempunyai kedudukan yang otonom dalam
pertuturan.
b.
Morfem tak
bermakna leksikal
Morfem tak
bermakna leksikal yaitu morfem-morfem yang tidak mempunyai makna apa-apa pada
dirinya sendiri sebelum bergabung dengan morfem lainnya dalam proses
morfologis. Jadi morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan
bentuk lain dalam ujaran. Misalnya,
morfem-morfem afiks {ber-}, {me-}, {ter-}, {tetapi}, {kalau}, {ke} dan
sebagainya.
2. Deretan
Morfologik
Deretan
morfologik ialah suatu deretan kata atau suatu daftar yang memuat kata-kata
yang berhubungan baik dalam bentuk maupun dalam artinya (Ramlan, 1983: 28-29).
Selanjutnya Ramlan memberi contoh dengan kata
kejauhan. Untuk mengetahui kata kejauhan itu terdiri dari satu morfem
atau lebih, maka kita harus memperbandingkan kata tersebut dengan kata-kata
lain dalam deretan morfologik. Anda telah mengetahui bahwa di samping kejauhan,
terdapat menjauhkan, dijauhkan, terjauh, berjauhan, menjauhi, dijahui; maka deretan
morfologinya sebagai berikut:
kejauhan menjauhkan dijauhka
terjauh berjauhan menjauhi dijauhi jauh.
Berdasarkan
perbandingan kata-kata yang tertera dalam deretan morfologik di atas, dapat
disimpulkan adanya morfem jauh sebagai unsur yang terdapat pada tiap-tiap
anggota deretan morfologik, hingga dapat dipastikan bahwa:
kata kejauhan terdiri dari morfem jauh dan morfem ke-an
kata menjauhkan terdiri dari morfem
meN-, morfen jauh, dan morfem -kan kata dijauhkan terdiri dari morfem di-, morfem jauh, dan
morfem -kan kata terjauh terdiri dari morfem ter-, dan
morfem jauh kata berjauhan terdiri dari
morfem jauh, dan morfem ber-an kata menjauhi terdiri dari morfem meN-, morfem
jauh, dan morfem -i kata dijauhi terdiri dari morfem di-, morfem jauh, dan morfem
-i
Deretan
morfologi sangat berguna dalam menentukan morfem-morfem. Kata terlantar
misalnya, apakah terdiri satu morfem atau dua morfem, dapat diketahui dari deretan morfologik. Kata
itu haruslah dibandingkan dengan kata-kata lain yang berhubungan dengan bentuk
dan artinya dalam deretan morfologik.
C.
Prinsip-prinsip
Pengenalan Morfem
Cara-cara untuk mengenal morfem dengan
mudah, Ramlan dalam Tarigan,H.G.(1995: 1119) mengemukakan enam prinsip yang
saling melengkapi untuk memudahkan pengenalan morfem. Keenam prinsip pengenalan
morfem itu adalah sebagai berikut :
Prinsip
1 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik dan arti leksikal atau arti gramatik yang sama
merupakan satu morfem. Contoh-contoh di
bawah ini yaitu :
a.
Membeli rumah, rumah baru, menjaga rumah, berumah, satu rumah. (Tarigan, 1995: 12) Dari contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa satuan rumah merupakan satu morfem karena satuan itu
memiliki struktur fonologik dan arti yang sama.
b.
Menulis, ditulis, menuliskan, menulisi,
ditulisi, tertulis, tertuliskan, tertulisi, tulisan, penulis, penulisan, karya tulis.
(Tarigan,H.G., 1995:13). Dari contoh-contoh itu dapat kita lihat bahwa satuan
tulis merupakan satu morfem karena satuan itu mempunyai struktur fonologik dan
arti yang sama.
c. Dibaca,
disimak, disepak, ditinju,
dicium, dijual, diambil.
Dari contoh di atas
terlihat dengan jelas bahwa satuan di- merupakan satu morfem karena satuan itu
memiliki struktur fonologik dan arti yang sama.
Prinsip
2 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonlogik yang berbeda merupakan satu morfem
apabila satuan-satuan itu mempunyai arti leksikal atau arti gramatik
yang sama, asal perbedaan itu dapat dijelaskan secara fonologik.
Contoh-contoh di bawah
ini sebagai berikut yaitu :
a. Menjual,
membawa, menyapu, menggigit,
mengebom, melintas.
Kita
tahu bahwa satuan-satuan men-, mem-,
meny-, meng-, menge-, dan me- dalam
contoh di atas mempunyai arti gramatik yang sama, yaitu menyatakan tindakan
aktif tetapi struktur fonologiknya jelas berbeda. Satuan-satuan men-, mem-, meny-, meng-, menge-, dan
me- adalah alomorf dari morfem meN-.
Oleh karena itu semua satuan itu merupakan satu morfem (Tarigan, 1995:14).
b. Penjual, pembaca,
penyalin, penggugat, pengelas,
pelaut.
Dari contoh-contoh di atas, nyata kepada kita
bahwa satuan-satuan pen-, pem-, peny-, peng, penge-, dan pe- mempunyai arti
gramatik yang sama, yaitu menyatakan yang pekerjaannya melakukan perbuatan yang
tersebut pada bentuk dasar (dasar kata), atau dengan kata lain bersifat
agentif, tetapi struktur fonologiknya berbeda.
Satuan-satuan pen-, pem-, peny-, peng-, penge-, dan pe- adalah alomorf
dari morfem peN-. Oleh karena itu semua satuan itu (pe-, pem-, peny-, peng-, penge-,
pe-) merupakan satu morfem (Tarigan,H.G., 1995: 14).
Prinsip
3 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang berbeda, sekalipun
perbedaannya tidak dapat dijelaskan secara fonologik, masih dapat dianggap
sebagai satu morfem apabila mempunyai arti leksikal atau arti gramatik yang
sama, dan mempunyai distribusi yang komplementer.
Contoh-contoh di bawah
ini sebagai berikut yaitu:
Berlatih,
berjumpa, belajar, berlari, berkarya, beroda dan beternak
Dari contoh-contoh di
atas, nyata kepada kita bahwa terdapat satuan-satuan ber-, be-, dan bel-.
Berdasarkan prinsip 2, satuan ber- dan be- merupakan satu morfem, karena
perbedaan struktur fonologiknya dapat dijelaskan secara fonologik. Berbeda
dengan satuan bel- yang hanya terdapat pada belajar. Walaupun bel- mempunyai
struktur fonologik yang berbeda dan perbedaannya itu tidak dapat dijelaskan
secara fonologik tetapi mempunyai arti gramatik yang sama dan mempunyai
distribusi yang komplementer dengan morfem ber-. Oleh karena itu satuan bel-
dapat dianggap sebagai satu morfem (Tarigan, 1995: 15).
Prinsip
4 : Apabila dalam deretan struktur, suatu satuan berparalel dengan suatu
kekosongan, maka kekosongan itu merupakan morfem, ialah yang disebut morfem
zero.
Kita
perhatikan dengan saksama deretan struktur di bawah ini: (1) Bapak membeli sepeda.
(2) Bapak melempar mangga. (3) Bapak menulis surat. (4) Bapak membaca koran.
(5) Bapak lompat tinggi. (6) Bapak makan kue. (7) Bapak minum kopi.
Ketujuh kalimat itu
semuanya berstruktur SPO, artinya S atau subjek ada di depan, diikuti P atau
predikat, diikuti O atau objek. Predikatnya berupa kata verbal (kerja) yang
transitif. Pada kalimat (1), (2), (3), dan (4), kata verbal yang transitif itu
ditandai oleh bedanya morfem meN-, sedangkan pada kalimat (5), (6), dan (7)
kata verbal yang transitif itu ditandai oleh kekosongan atau tidak adanya
morfem meN-. Kekosongan itu merupakan morfem, yang disebut morfem zero
(Tarigan, 1995: 16).
Prinsip
5 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang sama mungkin merupakan
satu morfem, mungkin pula merupakan morfem yang berbeda.
Kita
perhatikan dengan saksama contoh-contoh berikut ini:
a.
(1) Anak itu sedang belajar. (2)
Nilainya sedang saja.
Arti sedang pada
kalimat (1) adalah ‘baru’ atau ‘lagi’, sedangkan arti sedang pada kalimat (2)
adalah ‘tidak terlalu jelek’ atau ‘cukup’. Oleh karena itu kedua kata
sedang itu merupakan morfem yang berbeda meskipun mempunyai struktur
fonologik yang sama karena arti leksikalnya berbeda (Tarigan, 1995: 17).
Prinsip 6 :
Setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem.
Kita perhatikan dengan
saksama contoh-contoh berikut ini:
a. Berharap,
harapan.
Kita
telah mengetahui bahwa berharap terdiri dari satuan ber- dan harap, serta
satuan harapan terdiri dari harap, dan –an. Dengan demikian ber-, harap, dan
–an masing-masing merupakan morfemsendiri-sendiri (Tarigan, 1995;18).
b. Menyenangkan,
menyenang,i bersenang-senang dan kesenangan
Dari
contoh-contoh tersebut di atas nyata bagi kita bahwa: menyenangkan terdiri atas tiga morfem, yaitu meN-, senang,
dan –kan, menyenangi terdiri atas tiga morfem, yaitu meN-, senang,
dan –i, bersenang-senang terdiri atas
tiga morfem, yaitu ber-, senang, dan senang, kesenangan terdiri atas dua morfem, yaitu ke-an, dan
senang. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa meN-, senang, –kan, -i,
ber-, dan ke-an merupakan morfem sendiri-sendiri.
D.
Bentuk
Asal dan Bentuk Dasar serta Hierarki Bahasa
1.
Hirarki Bahasa
Pada contoh berperikemanusiaan hirarki
pembentukannya lebih banyak lagi dibandingkan dibandingkan dengan pada
berpakaian. Satuan berperikemanusiaan terbentuk dari unsur ber- dan
perikemanusiaan. Satuan perikemanusiaan terbentuk dari unsur peri dan
kemanusiaan. Selanjutnya kemanusiaan terbentuk dari unsur ke-an dan manusia.
Jadi proses kemanusiaan terbentuknya
satuan berperikemanusiaan demikian : manusia – kemanusiaan – perikemanusiaan –
berperikemanusiaan.
Cara pertama, dicari kemungkinan adanya satuan yang satu
tingkat lebih kecil daripada satuan yang diselidiki. Pada berperikemanusiaan,
satuan yang satu tingkat lebih kecil ialah perikemanusiaan. Satuan berperikemanusia
tidak ada. Maka dapat ditentukan bahwa berperikemanusiaan terdiri dari unsur
ber- dan perikemanusiaan. Begitupun dengan yang lain. Sedangkan
cara keduanya adalah melalui faktor arti dan makna. Misalnya, kata pembacaan
mempunyai arti hal membaca, atau suatu abstraksi dari perbuatan membaca.
Kalau pembacaaan terbentuk dari unsur peN- dan bacaan,
tentulah makna peN- tidak sesuai dengan arti yang dinyatakan oleh kata pembacaan,
karena afiks peN- pada umumnya :
a)
Orang yang (biasa) melakukan perbuatan yang tersebut pada
bentuk dasar, atau mungkin pula menyatakan alat yang biasa dipakai untuk
melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar. Misalnya pemimpin,
pencukur, penulis, pemangkas, pencipta, penggaris, dan sebagainya.
b)
Orang yang memiliki sifat yang tersebut pada bentuk dasar.
Misalnya pemalas, penakut, pemalu, pemberani, pengasih, penyayang, dan
sebagainya.
c)
Sesuatu yang menyebabkan adanya sifat yang tersebut pada
bentuk dasar. Misalnya penyakit, penguat, penawar, penghalus, pembesar,
pemerah, pengering, dan sebagainya
2. Bentuk Asal dan Bentuk Dasar
Bentuk
asal ialah satuan yang paling kecil yang menjadi asal sesuatu
kata kompleks. Misalnya kata berpakaian terbentuk dari bentuk asal pakai
mendapat bubuhan afiks –an menjadi pakaian, kemudian mendapat bubuhan
afiks –ber menjadi berpakaian.
Bentuk
dasar ialah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan
bagi satuan yang lebih besar. kata berpakaian, misalnya, terbentuk dari bentuk
dasar pakaian dengan afiks ber- : selanjutnya kata pakaian terbentuk dari bentuk
dasar pakai dengan afiks –an . Kata berkesudahan terbentuk dari bentuk dasar
kesudahan dengan afiks ber-, dan selanjutnya kata kesudahan terbentuk dari
bentuk dasar sudah dengan afiks ke –an.
Bentuk asal selalu berupa bentuk tunggal, berbeda dengan
bentuk dasar, mungkin berupa bentuk dasar, mungkin berupa bentuk tunggal,
misalnya pakai dalam pakaian, sudah dalam kesudahan, rumah dalam perumahan,
pergi dalam berpergian, kata dalam berkata, dan mungkin pula berupa bentuk
kompleks, misalnya pakaian dalam berpakaian, kesudahan dalam berkesudahan,
pemimpin dalam berpemimpin, dan kepemimpinan, berangkat dalam keberangkatan,
alasan dalam beralasan, berhasil dalam keberhasilan, mengerti dalam dimengerti.
tidak mampu dalam ketidakmampuan, sandaran dalam bersandaran, sinambung dalam
kesinambungan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Morfem adalah satuan bahasa atau
gramatik terkecil yang bermakna yang dapat berupa imbuhan atau kata.
Satuan-satuan rumah, sepeda, jalan, ber-, me-, di-, maha, juang, lah,
dan sebagainya masing-masing merupakan satu morfem. Satuan bersepeda,
terdiri dari dua morfem, ialah morfem ber- dan morfem sepeda;
satuan bersepeda ke luar kota terdiri dari lima morfem, ialah ber-,
sepeda, ke, luar, dan kota. Jadi yang dimaksud dengan satuan
gramatik yang paling kecil ialah satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan
lain sebagai unsurnya.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga
dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Asmirizah. Klasifikasi
Morfem [Online] Tersedia :
Tama, Radhia Deretan Morfologik [Online]
Tersedia :

1 komentar:
Write komentarnumpang promo ya gan
Replykami dari agen judi terpercaya, 100% tanpa robot, dengan bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% segera di coba keberuntungan agan bersama dengan kami
ditunggu ya di dewapk^^^ ;) ;) :*
EmoticonEmoticon