Loading...

Teori Belajar

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa usia sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak. Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah. Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja karakteristik siswa Sekolah Dasar?
2. Bagaimana proses pembelajaran Ipa saat ini?
3. Apa saja teori belajarnya?

C. Manfaat Penulisan
1. Untuk mengetahui apa saja karakteristik siswa Sekolah Dasar?
2. Untuk mengetahui bagaimana proses pembelajaran Ipa saat ini?
3. Untuk mengetahui apa saja teori belajarnya?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Masa usia sekolah dasar sebagai mesa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira usia sebelas tahun atau dua belas tahun. Karakteristik utama siswa sekolah dasar adalah mereka menampilkan perbedaan-perbedaan individual dalam banyak segi dan bidang, di antaranya, perbedaan dalam intelegensi, kemampuan dalam kognitif dan bahasa, perkembangan kepribadian dan perkembangan fisik anak.

Menurut Erikson perkembangan psikososial pada usia enam sampai pubertas, anak mulai memasuki dunia pengetahuan dan dunia kerja yang luas. Peristiwa penting pada tahap ini anak mulai masuk sekolah, mulai dihadapkan dengan tekhnologi masyarakat, di samping itu proses belajar mereka tidak hanya terjadi di sekolah. Sedang menurut Thornburg (1984) anak sekolah dasar merupakan individu yang sedang berkembang, barang kali tidak perlu lagi diragukan keberaniannya. Setiap anak sekolah dasar sedang berada dalam perubahan fisik maupun mental mengarah yang lebih baik. Tingkah laku mereka dalam menghadapi lingkungan sosial maupun non sosial meningkat. Anak kelas empat, memilki kemampuan tenggang rasa dan kerja sama yang lebih tinggi, bahkan ada di antara mereka yang menampakan tingkah laku mendekati tingkah laku anak remaja permulaan.

Menurut Piaget ada lima faktor yang menunjang perkembangan intelektual yaitu : kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), penyalaman logika matematika (logical mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses keseimbangan (equilibriun) atau proses pengaturan sendiri (self-regulation ) Erikson mengatakan bahwa anak usia sekolah dasar tertarik terhadap pencapaian hasil belajar. Mereka mengembangkan rasa percaya dirinya terhadap kemampuan dan pencapaian yang baik dan relevan. Meskipun anak-anak membutuhkan keseimbangan antara perasaan dan kemampuan dengan kenyataan yang dapat mereka raih, namun perasaan akan kegagalan atau ketidakcakapan dapat memaksa mereka berperasaan negatif terhadap dirinya sendiri, sehingga menghambat mereka dalam belajar. Piaget mengidentifikasikan tahapan perkembangan intelektual yang dilalui anak yaitu : tahap sensorik motor usia 0-2 tahun, tahap operasional usia 2-6 tahun, tahap opersional kongkrit usia 7-11 atau 12 tahun, tahap operasional formal usia 11 atau 12 tahun ke atas.

Berdasarkan uraian di atas, siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional kongkrit, pada tahap ini anak mengembangkan pemikiran logis, masih sangat terikat pada fakta-fakta perseptual, artinya anak mampu berfikir logis, tetapi masih terbatas pada objek-objek kongkrit, dan mampu melakukan konservasi. Bertitik tolak pada perkembangan intelektual dan psikososial siswa sekolah dasar, hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakteristik sendiri, di mana dalam proses berfikirnya, mereka belum dapat dipisahkan dari dunia kongkrit atau hal-hal yang faktual, sedangkan perkembangan psikososial anak usia sekolah dasar masih berpijak pada prinsip yang sama di mana mereka tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang dapat diamati, karena mereka sudah diharapkan pada dunia pengetahuan.

Seperti dikatakan Darmodjo (1992) anak usia sekolah dasar adalah anak yang sedang mengalami perrtumbuhan baik pertumbuhan intelektual, emosional maupun pertumbuhan badaniyah, di mana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek tersebut. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anak sekolah dasar walaupun mereka dalam usia yang sama.

Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok

Karakteristiknya antara lain:
1.Senang bermain,
Maksudnya dalam usia yang masih dini anak cenderung untuk ingin bermain dan menghabiskan waktunya hanya untuk bermain karena anak masih polos yang dia tahu hanya bermain maka dari itu agar tidak megalami masa kecil kurang bahagia anak tidak boleh dibatasi dalam bermain. Sebagai calon guru SD kita harus mengetahui karakter anak sehingga dalam penerapan metode atau model pembelajaran bisa sesuai dan mencapai sasaran, misalnya model pembelajran yang santai namun serius, bermain sambil belajar, serta dalam menyusun jadwal pelajaran yang berat(IPA, matematikadll.) dengan diselingi pelajaran yang ringan(keterampilan, olahraga dll.)

2.Senang bergerak,
Anak senang bergerak maksudnya dalam masa pertumbuhan fisik dan mentalnya anak menjadi hiperaktif lonjak kesana kesini bahkan seperti merasa tidak capek mereka tidak mau diam dan duduk saja menurut pengamatan para ahli anak duduk tenang paling lama sekitar 30 menit. Oleh karena itu, kita sebagai calon guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Mungkin dengan permaianan, olahraga dan lain sebagainya.

3.Senang bekerja dalam kelompok
Anak senang bekerja dalam kelompok maksudnya sebagai seorang manusia, anak-anak juga mempunyai insting sebagai makhluk social yang bersosialisasi dengan orang lain terutama teman sebayanya, terkadang mereka membentuk suatu kelompok tertentu untuk bermain. Dalam kelompok tersebut anak dapat belajar memenuhi aturan-aturan kelompok, belajar setia kawan, belajar tidak tergantung pada diterimanya dilingkungan, belajar menerimanya tanggung jawab, belajar bersaing dengan orang lain secara sehat (sportif), mempelajarai olah raga, belajar keadilan dan demokrasi. Hal ini dapat membawa implikasi buat kita sebagai calon guru agar menetapkan metode atau model belajar kelompok agar anak mendapatkan pelajaran seperti yang telah disebutkan di atas, guru dapat membuat suatu kelompok kecil, misalnya 3-4 anak agar lebih mudah mengkoordinir karena terdapat banyak perbedaan pendapat dan sifat dari anak-anak tersebut dan mengurangi pertengkaran antar anak dalam satu kelompok. Kemudian anak tersebut diberikan tugas untuk mengerjakannya bersama, disini anak harus bertukar pendapat anak menjadi lebih menghargai pendapat orang lain juga.

4.Senang merasakan/ melakukan sesuatu secara langsung.
Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak SD memasuki tahap operasional konkret. Dari apa yang dipelajari di sekolah, ia belajar menghubungkan konsep-konsep baru dengan konsep-konsep lama. Jadi dalam pemahaman anak SD semua materi atau pengetahuan yang diperoleh harus dibuktikan dan dilaksanakan sendiri agar mereka bisa paham dengan konsep awal yang diberikan. Berdasarkan pengalaman ini, siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, fungsi-fungsi badan, pera jenis kelamin, moral, dan sebagainya. Dengan demikian kita sebagai calon guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Sebagai contoh anak akan lebih memahami tentang arah mata angina, dengan cara membawa anak langsung keluar kelas, kemudian menunjuk langsung setiap arah angina, bahkan dengan sedikit menjulurkan lidah akan diketahui secara persis dari arah mana angina saat itu bertiup.

5.Anak cengeng
Pada umur anak SD, anak masih cengeng dan manja. Mereka selalu ingin diperhatikan dan dituruti semua keinginannya mereka masih belum mandiri dan harus selalu dibimbing. Di sini sebagai calon guru SD maka kita harus membuat metode pembelajaran tutorial atau metode bimbingan agar kita dapat selalu membmbing dan mengarahkan anak, membentuk mental anak agar tidak cengeng.

6.Anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain.
Pada pendidikan dasar yaitu SD, anak susah dalam memahami apa yang diberikan guru, disini guru harus dapat membuat atau menggunakan metode yang tepat misalnya dengan cara metode ekperimen agar anak dapat memahami pelajaran yang diberikan dengan menemukan sendiri inti dari pelajaran yang diberikan sedangkan dengan ceramah yang dimana guru Cuma berbicara didepan membuat anak malah tidak pmemahami isi dari apa yang dibicarakan oleh gurunya.

7.Senang diperhatikan
Di dalam suatu interaksi social anak biasanya mencari perhatian teman atau gurunya mereka senang apabila orang lain memperhatikannya, dengan berbagai cara dilakukan agar orang memperhatikannya. Di sini peran guru untuk mengarahkan perasaan anak tersebut dengan menggunakan metode tanya jawab misalnya, anak yang ingin diperhikan akan berusaha menjawab atau bertantya dengan guru agar anak lain beserta guru memperhatikannya.

8.Senang meniru
Dalam kehidupan sehari hari anak mencari suatu figur yang sering dia lihat dan dia temui. Mereka kemudian menirukan apa yang dilakukan dan dikenakan orang yang ingin dia tiru tersebut. Dalam kehidupan nyata banyak anak yang terpengaruh acara televisi dan menirukan adegan yang dilakukan disitu, misalkan acara smack down yang dulu ditayangkan sekarang sudah ditiadakan karena ada berita anak yang melakukan gerakan dalam smack down pada temannya, yang akhirnya membuat temannya terluka. Namun sekarang acara televisi sudah dipilah-pilah utuk siapa acara itu ditonton sebagai calon guru kita hanya dapat mengarahkan orang tua agar selalu mengawasi anaknya saat dirumah.

B. Proses Pembelajaran IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dapat dipandang sebagai produk dan sebagai proses. Secara definisi, IPA sebagai produk adalah hasil temuan-temuan para ahli saintis, berupa fakta, konsep, prinsip, dan teori-teori. Sedangkan IPA sebagai proses adalah strategi atau cara yang dilakukan para ahli saintis dalam menemukan berbagai hal tersebut sebagai implikasi adanya temuan-temuan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa alam. IPA sebagai produk tidak dapat dipisahkan dari hakekatnya IPA sebagai proses.

Siswa SD yang secara umum berusia 6-12 tahun, secara perkembangan kognitif termasuk dalam tahapan perkembangan operasional konkrit. Tahapan ini ditandai dengan cara berpikir yang cenderung konkrit/nyata. Siswa mulai mampu berpikir logis yang elementer, misalnya mengelompokkan, merangkaikan sederetan objek, dan menghubungkan satu dengan yang lain. Konsep reversibilitas mulai berkembang. Pada mulanya bilangan, kemudian panjang, luas, dan volume. Siswa masih berpikir tahap demi tahap tetapi belum dihubungkan satu dengan yang lain.

Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam pembelajaran IPA di SD yang perlu diajarkan adalah produk dan proses IPA karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Guru yang berperan sebagai fasilitator siswa dalam belajar produk dan proses IPA harus dapat mengemas pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Ada beberapa prinsip pembelajaran IPA untuk SD yang harus diperhatikan oleh guru. Prinsip tersebut antara lain:

1. Pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita di mulai melalui pengalaman baik secara inderawi maupun non inderawi.

2. Pengetahuan yang diperoleh tidak pernah terlihat secara langsung, karena itu perlu diungkap selama proses pembelajaran. Pengetahuan siswa yang diperoleh dari pengalaman itu perlu diungkap di setiap awal pembelajaran.

3. Pengetahuan pengalaman mereka ini pada umumnya kurang konsisten dengan pengetahuan para ilmuwan, pengetahuan yang Anda miliki. Pengetahuan yang demikian Anda sebut miskonsepsi. Anda perlu merancang kegiatan yang dapat membetulkan miskonsepsi ini selama pembelajaran.

4. Setiap pengetahuan mengandung fakta, data, konsep, lambang, dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas sebagai guru IPA adalah mengajak siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang sedang dipelajari itu ke dalam fakta, data, konsep, simbol, dan hubungan dengan konsep yang lain.

5. IPA terdiri atas produk dan proses. Guru perlu mengenalkan kedua aspek ini walaupun hingga kini masih banyak guru yang lebih senang menekankan pada produk IPA saja. Perlu diingat bahwa perkembangan IPA sangat pesat. Guru yang akan mengembangkan IPA sebagai proses, maka akan memasuki bidang yang disebut prosedur ilmiah. Guru perlu mengenalkan cara-cara mengumpulkan data, cara menyajikan data, cara mengolah data, serta cara-cara menarik kesimpulan

Proses belajar dan mengajar merupakan suatu langkah untuk membimbing siswa dalam menguasai suatu konsep dan sub konsepnya. Siswa dibimbing melalui metode mengajar dan media pembelajaran sehingga dapat menguasai konsep suatu pokok bahasan. Ketercapaian konsep merupakan konsep-konsep dalam Standar Isi KTSP yang secara minimal harus dikuasai oleh siswa

Proses IPA di dalamnya terkandung cara kerja dan cara berpikir. Sikap yang dikembangkan dalam pembelajaran IPA adalah sikap ilmiah yang antara lain terdiri atas obyektif, berhati terbuka, tidak mencampur adukkan fakta dan pendapat, bersifat hati-hati dan ingin tahu. Proses pembelajaran IPA harus mengacu pada hakikat IPA baik IPA sebagai produk, proses, dan pengembangan sikap. Di samping itu, menurut permen 22 tahun 2005 menyatakan bahwa pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah.

C. Teori Belajar

Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana seseorang belajar sehingga membantu kita memahami proses pembelajaran.

Ada tiga kategori utama atau kerangka filosofis mengenai teori-teori belajar, yaitu: teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitivisme, dan teori belajar konstruktivisme.

1. Teori belajar Behaviorisme
Teori behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

2. Teori Belajar kognitivisme
Teori kognitif adalah sebuah teori tentang perilaku yang menjelaskan pembelajaran berbasis otak. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne.

3. Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun. Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Pandangan konstruktivisme belajar sebagai sebuah proses di mana pelajar aktif membangun atau membangun ide-ide baru atau konsep

Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selain itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.

Teori belajar dalam pembelajaran IPA di SD tersebut.

1. Teori Belajar Piaget
Teori Peaget mempunyai nama lengkap Jean Piaget, lahir di Swiss tepatnya di Neuchatel pada tahun 1896. Perkembangan mental atau kognitif anak terdiri dari beberapa tahapan. Ada empat tahapan perkembangan mental anak secara berurutan.

Menurut Piaget, ada sedikitnya tiga hal yang perlu diperhatikan oleh guru dalam merancang pembelajaran di kelas, terutama dalam pembelajaran IPA. Ketiga hal tersebut adalah :
1) Seluruh anak melewati tahapan yang sama secara berurutan ;
2) Anak mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap suatu benda atau kejadian
3) Apabila hanya kegiatan fisik yang diberikan kepada anak, tidaklah cukup untuk menjamin perkembangan intelektual anak.

2. Teori Belajar Bruner
Bruner merupakan salah seorang ahli psikolog perkembangan dan ahli belajar kognitif. Beliau beranggapan bahwa belaar merupakan kegiatan perolehan informasi. Kegiatan pengolahan informasi tersebut meliputi pembentukan kategori-kategori. Di antara kategori-kategori tersebut ada kemungkinan saling berhubungan yang disebut sebagai koding. Teori belajat Bruner ini disebut sebagai teori belajar penemuan.

Dalam penerapannya dalam proses pembelajaran di kelas, Bruner mengembangkan model pembelajaran penemuan. Model ini pada prinsipnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh informasi sendiri dengan bantuan guru dan biasanya menggunakan barang yang nyata. Peranan guru dalam pembelajaran ini bukanlah sebagai seorang pemberi informasi melainkan seorang penuntun untuk mendapatkan informasi.

2. Teori Belajar Gagne
Model ini menunjukkan aliran informasi dari input ke output. Rangsangan/stimulus dari lingkungan (environtment) mempengaruhi alat-alat indera yaitu (receptor), dan masuk ke dalam sistem syaraf melalui register penginderaan (sensory register). Disini informasi diberi kode, artinya informasi diberi suatu bentuk yang mewakili informasiaslinya dan berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Bagian-bagian ini dimasukkan dalam memori jangka pendek (short term memory) dalam waktu singkat, sekitar beberapa detik saja. Tetapi, informasi dapat diolah oleh internal rehearsal dan disimpan dalam memori jangka pendek untuk waktu yang lebih lama, namun rehearsal juga mampu mentransformasikan informasi itu sekali lagi ke dalam memori jangka panjang (long term memory).

3. Teori Belajar Ausebel
Ausubel adalah seorang ahli psikologi kognitif. Inti dari teori belajarnya adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang. Peristiwa psikologi belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi baru ke dalam pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut Ausubel, belajar bermakna akan terjadi apabila informasi baru dapat dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah terdapat dalam struktur kognitif seseorang.

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui oleh siswa. Informasi yang baru diterima akan disimpan di daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak tang terlibat dalam penyimpanan pengetahuan tersebut. David P. Ausubel menyebutkan bahwa pengajaran secara verbal adalah lebih efisien dari segi waktu yang diperlukan untuk menyajikan pelajaran dan menyajikan bahwa pembelajar dapat mempelajari materi pelajaran dalam jumlah yang lebih banyak.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan apa saja yang telah diuraikan seperti di atas, guru dituntut untuk dapat mengemas perencanaan dan pengalaman belajar yang akan diberikan kepada siswa dengan baik, menyampaikan hal-hal yang ada di lingkungan sekitar kehidupan siswa sehari-hari, sehingga materi pelajaran yang dipelajari tidak abstrak dan lebih bermakna bagi anak. Selain itu, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapatkan pengalaman langsung baik secara individual maupun dalam kelompok. Proses IPA di dalamnya terkandung cara kerja dan cara berpikir. Sikap yang dikembangkan dalam pembelajaran IPA adalah sikap ilmiah yang antara lain terdiri atas obyektif, berhati terbuka, tidak mencampur adukkan fakta dan pendapat, bersifat hati-hati dan ingin tahu. Faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui oleh siswa. Informasi yang baru diterima akan disimpan di daerah tertentu dalam otak. Banyak sel otak tang terlibat dalam penyimpanan pengetahuan tersebut.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.

DAFTAR PUSTAKA
https://text-id.123dok.com/document/7q01pgxvz-teori-belajar-ipa-karakteristik-siswa-tingkat-sekolah-dasar.html
http://belajarpsikologi.com/macam-macam-teori-belajar/






Morfem


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bahasa sangat penting dalam komunikasi baik tertulis maupun tak tertulis. Sehingga penggunaannya harus berdasarkan pada kebahasaan dan perbendaharaan kata yang kaya dan lengkap. Begitu juga dengan bahasa Indonesia yang merupakan milik bangsa Indonesia merupakan alat komunikasi yang efektif  dan efisien dalam pemersatu bangsa ini. Proses morfologis merupakan pembentukan kata dengan jalan
menghubungkan morfem yang satu dengan morfem lainnya, baik itu morfem
bebas dengan morfem bebas maupun morfem bebas dengan morfem terikat.
Salah satu jenis proses morfologis adalah afiksasi atau pembubuhan afiks.
Afiksasi adalah proses morfologis dengan cara memberikan imbuhan baik
berupa awalan, sisipan, atau akhiran pada morfem lain. Prefiks merupakan
imbuhan yang melekat di depan kata dasar (morfem bebas) yang umumnya
disebut dengan awalan. Macam-macam prefiks yaitu: meN-, di-, ber-, ter-,
per-, se-, pe-, ke-, para, pra, dan sebagainya. Prefiks-prefiks tersebut akan
memiliki fungsi dan makna yang jelas jika sudah melekat pada kata dasar.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu Morfem?
2.      Apa saja Klasifikasi Morfem dan Deretan Morfologik?
3.      Apa saja Prinsip Pengenalan pada Morfem?
4.      Apa itu Bentuk Dasar dan Bentuk Asal serta Hierarki Bahasa?
C.    Manfaat Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Morfem
2.      Untuk Mengetahui Klasifikasi Morfem dan Deretan Morfologik
3.      Untuk Mengetahui Prinsip Pengenalan pada Morfem
4.      Untuk Mengetahui Bentuk Dasar dan Bentuk Asal serta Hierarki Bahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Morfem
Morfem merupakan suatu gramtika terkecil yang memiliki makna dengan kata terkecil, berarti satuan itu tidak dapat dianalisis menjadi lebih kecil lagi lagi tanpa merusak makna. Umpamanya bentuk membeli dapat dianalisis menjadi dua bentuk terkecil yaitu (me dan (beli). Bentuk beli merupakan morfem, yakni morfem afiks yang merupakan secara gramatika memiliki sebuah makna dan bentuk dasar yang secara leksikal dianalisis menjadi lebih kecil lagi menjadi be dan li.

B.     Klasifikasi Morfem dan Deretan Morfologik
1.      Klasifikasi Morfem
Chaer (1994: 151) mengklasifikasikan morfem sebagai berikut ini.
1.         Berdasarkan kebebasannya
Berdasarkan kebebasannya dibedakan menjadi:
a.        Morfem bebas
Morfem bebas yaitu morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam penuturan. Misalnya, bentuk pulang, makan, rumah, bagus, adalah termasuk morfem bebas.
                 b.        Morfem terikat
                                    Morfem terikat yaitu morfem yang tidak mempunyai potensi untuk berdiri sendiri dan yang selalu terikat dengan morfem lain untuk membentuk ujaran. Misalnya, bentuk juang, henti, gaul, dan semua bentuk afiks. Morfem terikat dalam tatabahasa Indonesia dapat dibagi lagi atas empat macam berdasarkan tempat terikatnya pada sebuah morfem dasar:
1)        Prefiks   (= awalan)    :    per-, me-, ter-, di-, dan lain-lain.
                              2)        Infiks     (= sisipan)     :    -el-, -er-, -em-.
                              3)        Sufiks    (= akhiran)    :    -an, -kan, -i.
                             4)        Konfiks                       :    gabungan    dari   dua   atau  lebih   dari ketiga macam morfem di atas yang bersama-sama membentuk suatu kesatuan arti.
Morfem terikat dapat dibeda-bedakan lagi menurut fungsinya, ada yang berfungsi untuk membentuk kata kerja, ada yang bertugas untuk membentu kata benda, ada pula yang digunakan untuk membentuk kata sifat. Pembagian yang kompleks adalah pembagian yang didasarkan atas arti yang didukungnya. Tetapi arti yang didukungnya itu pun belum mutlak, masih merupakan suatu kemungkinan: arti yang tepat harus selalu ditinjau dari suatu konteks. Berkenaan dengan morfem terikat ini, dalam bahasa Indonesia ada beberapa hal yang perlu dikemukakan yaitu :
1)        Bentuk-bentuk seperti juang, henti, gaul dan baur juga termasuk morfem terikat. Bentuk-bentuk tersebut, meskipun bukan afiks, tidak dapat muncul dalam ujaran tanpa mengalami proses morfologi terlebih dahulu, seperti afiksasi, reduplikasi, dan atau komposisi. Bentuk-bentuk seperti ini lazim disebut prakategorial.
2)        Sehubungan dengan istilah prakategorial di atas, menurut konsep Verhaar (1978) bentuk-bentuk tersebut baru merupakan “pangkal” kata, sehingga baru bisa muncul dalam ujaran. Bentuk-bentuk tersebut dapat muncul tanpa bentuk lain dalam kalimat imperatif. Menurut Verhaar, dalam kalimat imperatif, bentuk-bentuk tersebut harus menggunakan prefiks dan inflektif zero (nol).
3)        Bentuk-bentuk seperti renta (yang hanya muncul dalam tua renta), kerontang (yang hanya muncul dalam kering kerontang), dan bugar (yang hanya muncul dalam segar bugar) juga termasuk morfem terikat. Oleh karena itu, morfem-morfem bisa muncul dalam pasangan tertentu termasuk morfem terikat dan juga morfem unik.
4)        Bentuk-bentuk yang termasuk preposisi dan konjungsi, seperti ke, dan, pada, kalau, dan atau secara morfologis termasuk morfem bebas, tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat.
5)        Klitika merupakan morfem yang agak sukar ditentukan statusnya; apakah terikat atau bebas. Klitika adalah bentuk-bentuk singkat, yang biasanya hanya berupa satu suku kata, yang secara fonologis tidak mendapat tekanan dan kemunculannya dalam ujaran selalu melekat pada bentuk lain, tetapi dapat dipisahkan. Umpamanya, klitika –lah posisi dalam bentuk kalimat ibulah yang akan datang.
 Menurut posisinya, klitika biasanya dibedakan atas proklitika dan enklitika. Yang dimaksud dengan proklitika adalah klitika yang berposisi di muka kata yang dilekati, seperti ku dan kau pada konstruksi kubawa dan kauambil. Sedangkan enklitika adalah klitika yang berposisi di belakang kata yang dilekati, seperti -lah, -nya, dan -ku pada konstruksi dialah, duduknya, dan nasibku. Cara membedakan morfem bebas dan morfem terikat adalah sebagai berikut : Mem-perbesar Per-besar, jika besar dipotong lagi, maka be- dan -sar masing-masing tidak mempunyai makna. Bentuk seperti mem-, per-, dan besar disebut morfem.
Morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti besar, dinamakan morfem bebas, sedangkan yang melekat pada bentuk lain, seperti mem- dan per-, dinamakan morfem terikat. Dengan batasan itu, maka sebuah morfem dapat berupa kata (seperti besar di atas), tetapi sebuah kata dapat terdiri atas satu morfem atau lebih. Contohnya memperbesar di atas adalah satu kata yang terdiri atas tiga morfem, yakni dua morfem terikat mem- dan per- serta satu morfem bebas besar. Sebaliknya, berikut besar itu sendiri adalah satu morfem yang kebetulan juga satu kata. Berikut ini beberapa contoh lain beserta keterangannya. Membawa  
      morfem bebas    :    bawa
                 morfem terikat   :    mem-
                Mendapat           morfem bebas    :    dapat
                morfem terikat  :    men-
             Pembuatan               morfem bebas    :    buat
                     morfem terikat  :    pem-an
2.         Berdasarkan keutuhaannya
Berdasarkan keutuhaannya morfem dibedakan menjadi:
a.        Morfem utuh
Morfem utuh yaitu morfem yang merupakan satu kesatuan yang utuh, satu di awal dan satu di belakang. Pada kata Indonesia kesatuan terdapat satu morfem utuh yaitu {satu}, {meja}, {kursi}, {rumah},{henti}, {juang}, dan sebagainya.
b.        Morfem terbagi
Morfem terbagi yaitu morfem yang merupakan dua bagian yang terpisah atau terbagi. Misalnya, pada kata satuan (satu) merupakan morfem utuh dan (ke-/-an) adalah morfem terbagi. Semua afiks dalam bahasa Indonesia termasuk morfem terbagi. Sehubungan dengan morfem terbagi ini, untuk bahasa Indonesia, ada catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:
1)        Semua afiks yang disebut konfiks seperti {ke-/-an}, {ber-/-an}, {per-/-an}, dan {pe-/-an} termasuk morfem terbagi. Namun, bentuk {ber-/-an} bisa merupakan konfiks, seperti pada bermunculan ‘banyak yang tiba-tiba muncul’, dan bersalaman ‘saling menyalami’, tetapi bisa juga bukan konfiks, seperti pada beraturan ‘mempunyai aturan’ dan berpakaian ‘mengenakan pakaian’. Untuk menentukan apakah bentuk {ber-/-an} konfiks atau bukan konfiks, harus diperhatikan makna gramatikal yang disandangnya.
2)        Dalam bahasa Indonesia ada afiks yang disebut infiks yang disisipkan ditengah morfem dasar. Misalnya, afiks {-er-} pada kata kerelip, infiks {-el-} pada kata pelatuk, dan infiks {-em-} pada kata gemilang. Dengan demikian infiks tersebut telah mengubah morfem terbagi {ke-lip}, morfem utuh {gembung} menjadi morfem terbagi {g-embung}, dan mengubah morfem utuh {getar} menjadi morfem terbagi {g-etar}.
3.         Berdasarkan unsur pembentuknya
Berdasarkan unsur pembentuknya dibedakan menjadi:
a.        Morfem segmental
Morfem segmental yaitu morfem yang dibentuk oleh fonem-fonem segmental, seperti morfem {lari}, {kah}, {kali}, dan {ter}, (lihat), (lah) dan semua morfem yang berwujud bunyi. Jadi, semua morfem yang berwujud bunyi adalah morfem segmental.
b.        Morfem suprasegmental
Morfem suprasegmental yaitu morfem yang dibentuk oleh unsur-unsur suprasegmental, seperti tekanan, nada, durasi, dan sebagainya. Contohnya, seperti dalam bahasa Cina, Burma, dan Tha. Contoh lain, dalam bahasa Babah misalnya ada kata botar(tekanan pada suku pertama) artinya “putih”. Di samping itu juga bentuk botar(tekanan pada suku kedua) artinya “darah”. Di sini unsur kedua bentuk itu sama yaitu b,o,t,a,r sedangkan unsur suprasegmentalnya adalah tekanan.
4.    Berdasarkan maknanya
Berdasarkan maknanya, morfem dibedakan menjadi:
a.        Morfem bermakna leksikal
Morfem bermakna leksikal yaitu morfem-morfem yang secara inheren telah memiliki makna pada dirinya sendiri, tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Misalnya, morfem-morfem seperti (kuda), (pergi), (lari), dan sebagainya adalah morfem bermakna leksikal. Morfem-morfem seperti itu sudah dapat digunakan secara bebas dan mempunyai kedudukan yang otonom dalam pertuturan.


b.        Morfem tak bermakna leksikal
Morfem tak bermakna leksikal yaitu morfem-morfem yang tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri sebelum bergabung dengan morfem lainnya dalam proses morfologis. Jadi morfem ini baru mempunyai makna dalam gabungannya dengan bentuk lain dalam ujaran. Misalnya, morfem-morfem afiks {ber-}, {me-}, {ter-}, {tetapi}, {kalau}, {ke} dan sebagainya.
2.      Deretan Morfologik
Deretan morfologik ialah suatu deretan kata atau suatu daftar yang memuat kata-kata yang berhubungan baik dalam bentuk maupun dalam artinya (Ramlan, 1983: 28-29). Selanjutnya Ramlan memberi contoh dengan kata  kejauhan. Untuk mengetahui kata kejauhan itu terdiri dari satu morfem atau lebih, maka kita harus memperbandingkan kata tersebut dengan kata-kata lain dalam deretan morfologik. Anda telah mengetahui bahwa di samping kejauhan, terdapat menjauhkan, dijauhkan, terjauh, berjauhan, menjauhi, dijahui; maka deretan morfologinya sebagai berikut: 
kejauhan menjauhkan dijauhka terjauh berjauhan menjauhi dijauhi jauh.      
Berdasarkan perbandingan kata-kata yang tertera dalam deretan morfologik di atas, dapat disimpulkan adanya morfem jauh sebagai unsur yang terdapat pada tiap-tiap anggota deretan morfologik, hingga dapat dipastikan bahwa: 
kata kejauhan  terdiri dari morfem jauh dan morfem ke-an kata      menjauhkan terdiri dari morfem meN-, morfen jauh,  dan   morfem -kan     kata dijauhkan   terdiri dari morfem di-, morfem jauh, dan morfem  -kan kata      terjauh terdiri dari morfem ter-, dan morfem jauh kata berjauhan   terdiri dari morfem jauh, dan morfem ber-an kata menjauhi terdiri dari morfem meN-, morfem jauh, dan  morfem -i kata dijauhi  terdiri dari morfem di-, morfem jauh, dan   morfem -i 
Deretan morfologi sangat berguna dalam menentukan morfem-morfem. Kata terlantar misalnya, apakah terdiri satu morfem atau dua morfem,  dapat diketahui dari deretan morfologik. Kata itu haruslah dibandingkan dengan kata-kata lain yang berhubungan dengan bentuk dan artinya dalam deretan morfologik.

C.    Prinsip-prinsip Pengenalan Morfem
Cara-cara untuk mengenal morfem dengan mudah, Ramlan dalam Tarigan,H.G.(1995: 1119) mengemukakan enam prinsip yang saling melengkapi untuk memudahkan pengenalan morfem. Keenam prinsip pengenalan morfem itu adalah sebagai berikut : 
Prinsip 1 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik dan arti  leksikal atau arti gramatik yang sama merupakan satu morfem.  Contoh-contoh di bawah ini yaitu :
a. Membeli rumah, rumah baru, menjaga rumah, berumah, satu rumah.  (Tarigan, 1995: 12)       Dari contoh-contoh tersebut dapat  dilihat bahwa satuan rumah  merupakan satu morfem karena satuan itu memiliki struktur fonologik dan arti yang sama. 
b. Menulis,  ditulis, menuliskan, menulisi, ditulisi, tertulis, tertuliskan, tertulisi, tulisan,  penulis, penulisan, karya tulis. (Tarigan,H.G., 1995:13). Dari contoh-contoh itu dapat kita lihat bahwa satuan tulis merupakan satu morfem karena satuan itu mempunyai struktur fonologik dan arti yang sama. 
  c. Dibaca,  disimak,  disepak,  ditinju,  dicium,  dijual,   diambil.  
Dari contoh di atas terlihat dengan jelas bahwa satuan di- merupakan satu morfem karena satuan itu memiliki struktur fonologik dan arti yang sama.  
Prinsip 2 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonlogik yang berbeda merupakan  satu morfem  apabila satuan-satuan itu mempunyai arti leksikal atau arti gramatik yang sama, asal perbedaan itu dapat dijelaskan secara fonologik. 
Contoh-contoh di bawah ini sebagai berikut yaitu :
 a. Menjual,  membawa,  menyapu,  menggigit,  mengebom,  melintas. 
Kita tahu bahwa satuan-satuan  men-, mem-, meny-, meng-, menge-, dan me-  dalam contoh di atas mempunyai arti gramatik yang sama, yaitu menyatakan tindakan aktif tetapi struktur fonologiknya jelas berbeda. Satuan-satuan  men-, mem-, meny-, meng-, menge-, dan me-  adalah alomorf dari morfem meN-. Oleh karena itu semua satuan itu merupakan satu morfem (Tarigan, 1995:14).   
b. Penjual,  pembaca,  penyalin,   penggugat,  pengelas,  pelaut.
 Dari contoh-contoh di atas, nyata kepada kita bahwa satuan-satuan pen-, pem-, peny-, peng, penge-, dan pe- mempunyai arti gramatik yang sama, yaitu menyatakan yang pekerjaannya melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar (dasar kata), atau dengan kata lain bersifat agentif, tetapi struktur fonologiknya berbeda.  Satuan-satuan pen-, pem-, peny-, peng-, penge-, dan pe- adalah alomorf dari morfem peN-. Oleh karena itu semua satuan itu (pe-, pem-, peny-, peng-, penge-, pe-) merupakan satu morfem (Tarigan,H.G., 1995: 14). 
Prinsip 3 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang berbeda, sekalipun perbedaannya tidak dapat dijelaskan secara fonologik, masih dapat dianggap sebagai satu morfem apabila mempunyai arti leksikal atau arti gramatik yang sama, dan mempunyai distribusi yang komplementer. 
Contoh-contoh di bawah ini sebagai berikut yaitu:
Berlatih, berjumpa, belajar, berlari, berkarya, beroda dan beternak 
Dari contoh-contoh di atas, nyata kepada kita bahwa terdapat satuan-satuan ber-, be-, dan bel-. Berdasarkan prinsip 2, satuan ber- dan be- merupakan satu morfem, karena perbedaan struktur fonologiknya dapat dijelaskan secara fonologik. Berbeda dengan satuan bel- yang hanya terdapat pada belajar. Walaupun bel- mempunyai struktur fonologik yang berbeda dan perbedaannya itu tidak dapat dijelaskan secara fonologik tetapi mempunyai arti gramatik yang sama dan mempunyai distribusi yang komplementer dengan morfem ber-. Oleh karena itu satuan bel- dapat dianggap sebagai satu morfem (Tarigan, 1995: 15).   
Prinsip 4 : Apabila dalam deretan struktur, suatu satuan berparalel dengan suatu kekosongan, maka kekosongan itu merupakan morfem, ialah yang disebut morfem zero. 
Kita perhatikan dengan saksama deretan struktur di bawah ini: (1) Bapak membeli sepeda. (2) Bapak melempar mangga. (3) Bapak menulis surat. (4) Bapak membaca koran. (5) Bapak lompat tinggi. (6) Bapak makan kue. (7) Bapak minum kopi. 
Ketujuh kalimat itu semuanya berstruktur SPO, artinya S atau subjek ada di depan, diikuti P atau predikat, diikuti O atau objek. Predikatnya berupa kata verbal (kerja) yang transitif. Pada kalimat (1), (2), (3), dan (4), kata verbal yang transitif itu ditandai oleh bedanya morfem meN-, sedangkan pada kalimat (5), (6), dan (7) kata verbal yang transitif itu ditandai oleh kekosongan atau tidak adanya morfem meN-. Kekosongan itu merupakan morfem, yang disebut morfem zero (Tarigan, 1995: 16). 
Prinsip 5 : Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang sama mungkin merupakan satu morfem, mungkin pula merupakan morfem yang berbeda.  
Kita perhatikan dengan saksama contoh-contoh berikut ini: 
a. (1) Anak itu sedang belajar.       (2) Nilainya sedang saja. 
Arti sedang pada kalimat (1) adalah ‘baru’ atau ‘lagi’, sedangkan arti sedang pada kalimat (2) adalah ‘tidak terlalu jelek’ atau ‘cukup’. Oleh karena itu kedua  kata  sedang itu merupakan morfem yang berbeda meskipun mempunyai struktur fonologik yang sama karena arti leksikalnya berbeda (Tarigan, 1995: 17). 
Prinsip  6    : Setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem. 
Kita perhatikan dengan saksama contoh-contoh berikut ini: 
a. Berharap, harapan.  
Kita telah mengetahui bahwa berharap terdiri dari satuan ber- dan harap, serta satuan harapan terdiri dari harap, dan –an. Dengan demikian ber-, harap, dan –an masing-masing merupakan morfemsendiri-sendiri (Tarigan, 1995;18). 
b. Menyenangkan, menyenang,i bersenang-senang dan kesenangan 
Dari contoh-contoh tersebut di atas nyata bagi kita bahwa: menyenangkan  terdiri atas tiga morfem, yaitu meN-, senang, dan –kan,  menyenangi  terdiri atas tiga morfem, yaitu meN-, senang, dan –i, bersenang-senang  terdiri atas tiga morfem, yaitu ber-, senang, dan senang, kesenangan  terdiri atas dua morfem, yaitu ke-an, dan senang. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa meN-, senang, –kan, -i, ber-, dan ke-an merupakan morfem sendiri-sendiri. 
D.    Bentuk Asal dan Bentuk Dasar serta Hierarki Bahasa
1.      Hirarki Bahasa
Pada contoh berperikemanusiaan hirarki pembentukannya lebih banyak lagi dibandingkan dibandingkan dengan pada berpakaian. Satuan berperikemanusiaan terbentuk dari unsur ber- dan perikemanusiaan. Satuan perikemanusiaan terbentuk dari unsur peri dan kemanusiaan. Selanjutnya kemanusiaan terbentuk dari unsur ke-an dan manusia. Jadi proses  kemanusiaan terbentuknya satuan berperikemanusiaan demikian : manusia – kemanusiaan – perikemanusiaan – berperikemanusiaan.
Cara pertama, dicari kemungkinan adanya satuan yang satu tingkat lebih kecil daripada satuan yang diselidiki. Pada berperikemanusiaan, satuan yang satu tingkat lebih kecil ialah perikemanusiaan. Satuan berperikemanusia tidak ada. Maka dapat ditentukan bahwa berperikemanusiaan terdiri dari unsur ber- dan perikemanusiaan. Begitupun dengan yang lain. Sedangkan cara keduanya adalah melalui faktor arti dan makna. Misalnya, kata pembacaan mempunyai arti hal membaca, atau suatu abstraksi dari perbuatan membaca. Kalau pembacaaan terbentuk dari unsur peN- dan bacaan, tentulah makna peN- tidak sesuai dengan arti yang dinyatakan oleh kata pembacaan, karena afiks peN- pada umumnya :
a)         Orang yang (biasa) melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar, atau mungkin pula menyatakan alat yang biasa dipakai untuk melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar. Misalnya pemimpin, pencukur, penulis, pemangkas, pencipta, penggaris, dan sebagainya.
b)        Orang yang memiliki sifat yang tersebut pada bentuk dasar. Misalnya pemalas, penakut, pemalu, pemberani, pengasih, penyayang, dan sebagainya.
c)         Sesuatu yang menyebabkan adanya sifat yang tersebut pada bentuk dasar. Misalnya penyakit, penguat, penawar, penghalus, pembesar, pemerah, pengering, dan sebagainya
2.  Bentuk Asal dan Bentuk Dasar
Bentuk asal ialah satuan yang paling kecil yang menjadi asal sesuatu kata kompleks. Misalnya kata berpakaian terbentuk dari bentuk asal pakai mendapat bubuhan afiks –an menjadi pakaian, kemudian mendapat bubuhan afiks –ber menjadi berpakaian.
Bentuk dasar ialah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar. kata berpakaian, misalnya, terbentuk dari bentuk dasar pakaian dengan afiks ber- : selanjutnya kata pakaian terbentuk dari bentuk dasar pakai dengan afiks –an . Kata berkesudahan terbentuk dari bentuk dasar kesudahan dengan afiks ber-, dan selanjutnya kata kesudahan terbentuk dari bentuk dasar sudah dengan afiks ke –an.
Bentuk asal selalu berupa bentuk tunggal, berbeda dengan bentuk dasar, mungkin berupa bentuk dasar, mungkin berupa bentuk tunggal, misalnya pakai dalam pakaian, sudah dalam kesudahan, rumah dalam perumahan, pergi dalam berpergian, kata dalam berkata, dan mungkin pula berupa bentuk kompleks, misalnya pakaian dalam berpakaian, kesudahan dalam berkesudahan, pemimpin dalam berpemimpin, dan kepemimpinan, berangkat dalam keberangkatan, alasan dalam beralasan, berhasil dalam keberhasilan, mengerti dalam dimengerti. tidak mampu dalam ketidakmampuan, sandaran dalam bersandaran, sinambung dalam kesinambungan.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Morfem adalah satuan bahasa atau gramatik terkecil yang bermakna yang dapat berupa imbuhan atau kata. Satuan-satuan rumah, sepeda, jalan, ber-, me-, di-, maha, juang, lah, dan sebagainya masing-masing merupakan satu morfem. Satuan bersepeda, terdiri dari dua morfem, ialah morfem ber- dan morfem sepeda; satuan bersepeda ke luar kota terdiri dari lima morfem, ialah ber-, sepeda, ke, luar, dan kota.  Jadi yang dimaksud dengan satuan gramatik yang paling kecil ialah satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya.
B.     Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.       








DAFTAR PUSTAKA
Asmirizah.       Klasifikasi Morfem      [Online]           Tersedia :
Tama, Radhia              Deretan Morfologik                 [Online]           Tersedia :
Hasil carian imej untuk ‪gambar tentang morfem‬‏